Oleh : Fauzan Hakim, S.Ag
Musirawas-Kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sering kali disalahgunakan oleh sejumlah oknum. Laporan dan temuan mengenai penyalahgunaan Dana BOS oleh oknum guru dan kepala sekolah, menguak sisi gelap dari sistem pendidikan kita hari ini.
Berdasarkan laporan, jumlah kasus BOS yang terungkap pada tahun 2019 masih berada di angka 23%, yang menandakan adanya korupsi tetapi belum begitu mencolok. Namun, pada tahun 2020, angka tersebut meningkat menjadi 29%, dan terus naik signifikan pada tahun 2021 hingga mencapai 44%.
Fakta ini mencerminkan bagaimana sistem pendidikan dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran sekolah belum mampu menekan praktik korupsi secara efektif. Bahkan, peningkatan ini terus meroket pada tahun 2022 dan 2023, dengan kasus yang dilaporkan mencapai 93%. ICW mencatat Korupsi BOS terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Dari sejumlah kasus penyelewengan BOS tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadinya degradasi moral di kalangan para pendidik. Bukannya
mengajarkan atau mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan, para pendidik justru terjebak pada praktik korupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa.
Beberapa modus penyalahgunaan dana BOS yang sering dilakukan antara lain, kepala sekolah menyetor uang kepada pengelola dana BOS di Diknas untuk mempercepat pencairan dana BOS, ada juga dugaan kepala sekolah menghimpun dana BOS untuk menyuap pegawai BPKP, dan Pengelolaan dana BOS tidak sesuai dengan petunjuk teknis (Juknis) yang sudah ditetapkan.
Berdasarkan hasil survei, KPK mendapati berbagai modus korupsi dana BOS. Misalnya pungutan liar oleh sekolah atau pejabat pendidikan, pembuatan laporan fiktif, kolusi dalam pengadaan barang dan jasa, hingga nepotisme dalam penerimaan siswa baru.
Dan bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkapkan, salah satu modus korupsi dana BOS, dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah yaitu meminta setoran kepada bawahan dengan alasan mereka sudah berjuang memproses dan mencairkan dana BOS.
Lalu, muncul pertanyaan, mengapa terjadi korupsi Bos, dan bagaimana cara pencegahannya?
Beberapa faktor penyebab terjadinya penyelewengan Dana Bos diantaranya karena lemahnya pengawasan internal serta minimnya keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawasan. Selain itu, masih terdapat sistem penyelenggaraan pendidikan yang tidak tertata dan tak terawasi dengan baik, lemahnya produk hukum serta belum optimalnya sistem audit dan pengawasan.
Dari sejumlah faktor tersebut telah membuka ruang bagi kepala sekolah dan guru melakukan penyalahgunaan dana pendidikan ini. Dimana kepala sekolah bersama dengan orang-orang dekatnya seolah-olah membangun kerajaan kecil. Sementara pejabat terkait yang seharusnya melakukan pendampingan dan pengawasan pengelolaan dana tersebut datang seperti utusan raja besar untuk menarik upeti pada raja-raja kecil di bawahnya.
Pengamat pendidikan, profesor Nizam, mengatakan "korupsi pengelolaan dana bos terjadi karena adanya celah dalam sistem pengelolaan keuangan sekolah yang lemah, tidak transparan, dan tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan krusial ini, perlu dilakukan optimalisasi fungsi pengawasan." Dan pengawasan yang paling efektif dan lebih terjamin akuntabilitasnya adalah pengawasan masyarakat dengan cara mengaktifkan peran orang tua atau wali, komite dan lembaga non-pemerintah.
Bahkan pemerintah-pun telah menyediakan regulasi pengelolaan dana BOS seperti telah diatur dalam Permendikbud No 8 tahun 2020, yang pada intinya mengatur tentang transparansi bos. Penelitian menunjukkan, bahwa transparansi dalam pengelolaan dana publik melalui pengawasan masyarakat dapat mengurangi risiko korupsi. Karena itulah Pemerintah mewajibkan sekolah mempublikasikan anggaran tersebut untuk diketahui publik.
Tak sebatas itu, terjadinya penyelewengan bos, juga disebabkan kurangnya rasa kepedulian para guru terhadap kebijakan bos."Kondisi ini terlihat masih minimnya kehadiran para guru yang kritis, dan belum maksimalnya peran orang tua selaku wali yang aktif dan bahkan belum ada kekuasaan limitatif Kepala Sekolah sebagai langkah efektif pencegahan korupsi BOS" (Teten Masduki).
Selama ini, banyak guru dan pegawai sekolah tidak mengetahui persis besaran penggunaan dana BOS, dan Bahkan "Kerap terdengar anekdot, hanya Tuhan, Kepala Sekolah, dan Bendahara Sekolah saja yang mengetahui tentang penggunaan dana BOS."
Disisi lain, motivasi pribadi dan tekanan ekonomi juga menjadi faktor pendorong terjadinya praktik korupsi di lembaga pendidikan ini. Beberapa oknum kepala sekolah atau guru yang terlibat dalam penyelewengan, karena tekanan ekonomi dan beban keuangan yang tinggi karena gaya hidup (Hedonisme) tanpa diimbangi pendapatan yang memadai, sehingga memicu mencari cara cepat guna memenuhi kebutuhan finansial tersebut.
Tak hanya itu korupsi dilingkungan sekolah, juga bisa berkembang dengan mudah karena masih lemahnya proses penegakan hukum. Bahkan bagi oknum yang terlibat merasa tindakan mereka tidak akan menimbulkan konsekuensi yang berat ketika berada dilingkungan penegakan aturan yang longgar. Sehingga, "kelemahan hukuman bagi para pelaku korupsi di sektor pendidikan memperkuat motif untuk melakukan penyimpangan"(Amin Rais).
Demikian halnya dengan sistem perpolitikan yang ada saat ini. Adanya hubungan atau keterkaitan bathin yang kuat antara kepala sekolah dengan pimpinan atau lembaga diatasnya, eksekutif ataupun legislatif, hingga yudikatif. Hubungan ini kemudian menjadi kuat karena ada keterkaitan kepartaian, ini juga bagian dari faktor terjadinya penyimpangan bos, selain budaya setoran-menyetor, semisal upeti. "ICW mencatat Korupsi BOS sering terjadi, salah satunya karena adanya pungutan atau permintaan setoran dari sejumlah oknum, termasuk aparat penegak hukum."
Tak disangkal, bahwa penyebab sulitnya pemberantasan korupsi karena faktor adanya hubungan sifat atau watak kekuasaan yang memang cenderung korup bahkan memaksa (Rocky Gerung), dimana kepala sekolah dengan kekuasaannya bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya, termasuk melakukan penyelewengan BOS.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Lord Acton, guru besar sejarah Universitas Cambridge, dengan adagium-nya yang terkenal, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" yang maknanya kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula.
Dari sejumlah faktor yang dikemukakan itu, maka ada perkara penting yang sering diabaikan dalam hal pemberantasan Korupsi yakni faktor etika dan integritas. Etika merupakan norma dasar yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter bangsa, sedangkan integritas ialah konsistensi dari hati, pikiran, perkataan dan tindakan kita. Disinilah tantangan besar bagi pemerintah yaitu menguatkan etika dan integritas birokrasi untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.
Jadi, dari uraian singkat diatas disimpulkan bahwa terjadinya kasus korupsi dana bos disebabkan beberapa hal seperti minimnya pengawasan, belum optimalnya peran komite, rendahnya sistem tata kelola birokrasi, regulasi bos yang masih mengandung sisi kelemahan, dan yang tak kalah menariknya adalah kurangnya kepedulian atau sikap apatisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, ditambah lagi faktor lemahnya proses penegakan hukum serta minimnya etika dan moralitas pengelola dana bos.
Untuk mengatasi permasalahan krusial ini, maka beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, membangun sistem pengawasan yang kuat melalui sosialisasi bos. Caranya dengan melibatkan peran serta masyarakat atau lembaga berwenang. Melalui sosialisasi ini masyarakat dapat bahkan harus mengetahui tentang pengelolaan bos, dari perencanaan, penerimaan hingga pelaporan penggunaan dana BOS, untuk apa saja uang tersebut dipergunakan.
Oleh karena itu, keterlibatan komite dalam kebijakan sarta pengawasan pengelolaan dana bos sangat urgen, karena komite merupakan bagian dari refresentasi masyarakat, jangan hanya sebagai stempel atau sekedar tanda tangan, lebih dari itu komite juga harus ikut berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan BOS, agar betul-betul terlaksana tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.
Kedua, harus ada good governance atau niat baik dari penyelenggara pendidikan, Pemerintah atau lembaga berwenang dalam menata birokrasi yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), seperti perbaikan sistem tata kelola dana pendidikan serta penegakan hukum yang adil dan beradab.
Ketiga, pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pembenahan birokrasi yang ber-etika dan berintegritas. Etika atau Integritas merupakan norma dasar yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter manusia. Disini juga tugas dan tantangan besar bagi pemerintah yakni menanamkan nilai-nilai kejujuran, dan keadilan bagi penyelenggara pendidikan di sekolah yang akhir-akhir ini nyaris punah.
Sebab, pada dasarnya penanganan korupsi bukan hanya pada penanggulangan korupsi itu sendiri, melainkan pada penyebab dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi.
Penanggulangan korupsi melalui penegakan hukum pidana atau penataan sistem birokrasi hanya merupakan penanggulangan simptomatik (Gejala umum) yang berarti tidak akan membuat korupsi benar-benar hilang.
Penulis : Lulusan 1999 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
Posting Komentar